Asa-Asa sang penyair tergaungkan oleh sang Suara
Takkan bercerai sang sejoli cita-cita. Menjamah jembatan-jembatan pada pecahan-pecahan tanah. Pada puing-puing asa. Pada Semangat Membuncah yang mudah ketai. Ya, Tak kan bercerai. Sang Penyair dan Sang Suara
Melukis Harapan, seiring penutup waktu menyimak, bermulalah kisah sang sejoli
Aku Ingin Menjadi Penulis..
Adalah secarik kenangan yang hampir terlupakan. Ketika aku tak melihat lagi. Apakah pemilik harapan hanya akan ada dalam syair sang penyair. Hanya disimpan. Rasa bersalah yang tak pernah di tuangkan. Jika hanya kata-kata. hanya diraba tanpa rasa.
Aku Ingin Menjadi Penulis..
Bulan masih yang kemarin, menggayut memerah diatas kota. Mengantar wajahku yang keruh meruh. Mengalis membawa seribu duka. Bayang ku tak mengaca. Di atas aliran nafas kertas. Entah kemana perginya. Harum nafas pena yang segar menari dengan jemari ini. Menimbulkan gairah beretorika. Ketika pulang merantau, masih sempat aku menggamit mu.
Aku Ingin Menjadi Penulis..
Malam tambah muram, segalanya makin tenggelam, kerut hitam memagut, merintih dihimpit buntu. Titik-titiknya hilang ditelan sesuatu yang tak dikenali sang penyair. Sang penyair tetap menulis. Menulis orasi-orasi jiwa yang kosong pengalaman hingga terangkai menjadi alphabet yang mengerikan!
Aku Ingin Menjadi Penulis..
Benarkah bahwa dunia hanya sebatas kerinduan? Seperti selarik hujan yang singgah? Tak sanggup mengikis usia yang menjalin debu. Hati ini hanya disesaki kenangan. Yang urung kembali. Merambah jalan-jalan semak berduri. Terjatuh, tertatih kehilangan diri. Terbata mengeja zaman, melawan arus.
Mungkin hujan yang tetap membasahi ingatan sang penyair.
Tentang hujan yang membawa sejuta rindu yang selalu sang penyair tuangkan lewat tulisan. Dalam dan mengalun. Selebihnya, sang penyair hanya menjadi PECUNDANG!!
Aku Ingin Menjadi Penulis.. suaranya kali ini sesunyi isya. Bukan riuh kanak-kanak. Tapi isak kanak-kanak.
Aku Ingin Menjadi Penulis..
Mungkin selayaknya ku seberangkan saja kisah-kisah yang hilang. Sang penyair tak berwajah dengan berjuta kenangan. Sang penyair berjaga, bagai serdadu tua. Malam semakin larut. Heningnya, angin mengetuk, hujan mendenting, rintiknya, gerimisnya. Kau layarkan dengan perahu yang tumbuh. Kau antarkan jemari ini menuju sebuah titik. Ke ketinggian puncak Gunung Tajam, sejauh mata melepas pandang. Tampak jurang menantang. Terjal, Curam dan mematikan “satu buku sebelum mati” bersama mitos, gosip dan gurau.
Dan seperti orang-orang menertawakan Nuh As,merekapun tak percaya bila sang sejoli kan kembali. Tak serupa orang yang menggantikan harapan dengan ketidakpastian. Sang penyair tak kan tua jika bersanding dengan sang suara. Sang sejoli tak bersatu ini kan tua tanpa pengagum tanpa penjaga
Kebijaksanaan waktu tidak ingin untuk menjawab
Sekarang waktunya. Satu Buku Sebelum Mati
Tidak ada lagi lembar yang berisi alphabet mengerikan karena ia bercerita betapa pecundangnya seseorang yang retorika tidak berbanding lurus dengan aksi nyata.
Dengan semangat muda sang penyair berlapang dada. Lekas bergegas membawa perkakas. Berpikir cerdas. Bekerja keras. Menyatu dalam darah yang ekntal merah yang membuat sang penyair tak menyerah. Jangan berlari. Tatap hatimu menyambut ambisi. selagi pena masih terhunus. Satu Buku Sebelum Mati
untuk Kuis Tiket GRATIS event KUMPUL PENULIS 2 BANDUNG oleh Glanz Organizer
Tidak ada komentar:
Posting Komentar